Literasi Informasi
Posted at : 2022-08-14 20:10:33
Literasi Informasi
Sepuluh tahun yang lalu kata “literasi” belum akrab di telinga masyarakat Indonesia. Literasi sebuah kata serapan dari literacy—suatu aktivitas yang sudah lama kita lakukan—sekarang sedang menjadi topik yang menghangat terutama di dunia pendidikan. Sustainable Development Goals (SDGs) menjadikan literasi sebagai program utama dalam mengurangi kemiskinan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menjadikannya sebagai program prioritas dengan tagline “literasi untuk kesejahteraan rakyat.” Departemen pendidikan dan kebudayaan menjadikan Gerakan Literasi Sekolah mejnjadi program wajib dilaksanakan di semua satuan pendidikan.
Makna literasi dahulu hanya popular di dunia perpustakaan dan terbatas kepada literasi informasi yang berati kemampuan seseorang dalam mencari, mengelola, menggunakan, dan mengkomunikasikan kembalai informasi. Tapi sekarang sudah memasuki semua bidang sehigga literasi memiliki banyak makna, seperti pelangi atau taman yang penuh degan bunga warna-warni. Semuanya indah dan bermakna.
Ada yang memaknai literasi hanya padanan kata melek, berhubungan dengan sastra, budaya membaca, menulis, menghitung, dan lain-lain. Dari segi kedalamannya berjenjang mulai dari literasi dasar sampai pada literasi kritis. Ada juga yang memaknai dari diemensi lain, yaitu literasi bukan hanya sekadar membaca buku tapi bagaimana menerapkan atau mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Literasi adalah peristiwa dialektika yang selalu aktual antara teks dan konteks atau interaksi antara buku dengan ruang dan waktu.
“Bacalah!” Semua perubahan—individu, bangsa, dan peradaban—diawali dengan membaca. Dengan membaca maka pola pikir, emosi, perilaku dan akhirnya budaya berubah. Dari sejarah kita belajar bahwa orang-orang besar seluruhnya adalah kutu buku. Kita akan kesulitan mencari dalam tumpukan buku sejarah orang besar yang bukan kutu buku. Bahkan banyak orang besar yang warna kepribadiannya tercelup oleh buku yang dibacanya. Misalnya Ghandi dan Hitler. Yang satu seorang humanis yang satu lagi seorang fasis. Warna keribadian yang sangat berjauhan, bahkan seolah antitesis. Yang satu seorang pasifis (anti kekerasan) yang satu lagi seorang yang menggunakan kekerasan sebagai mesin kekuasaannya. Dalam biografinya Gandhi sangat dipengaruhi oleh sebuah buku yang berjudul Unto This Last karangan Ruskin, yang tidak sengaja diberikan oleh seorang teman untuk menemani dirinya dalam perjalanan. Ia menuturkan bahwa sekali ia mulai membacanya, buku tersebut langsung mencengkeram dirinya. Hitler dipengaruhi oleh buku-buku karya Charles Darwin terutama buku On the Origin of Species.
Masih dalam konteks pentingnya membaca, sejarah nusantara menceritakan bahwa Ken Arok bisa merebut tahta dari Tunggul Ametung—dengan kudeta—bukan hanya mengandalkan kekuatan militer akan tetapi juga karena dia adalah seorang literate yang berhasil menaikan statausnya dari sudra, kesatria, dan akhirnya menjadi seorang brahmana (cendekiawan) dengan cara otodidak membacai beribu-ribu naskah dalam lontar. Biografi yang terakhir saya baca adalah biografi Elon Musk seorang industrialis kaya raya yang dijuluki Leonardo da Vinci Abad 21, karena memiliki kebiasaan membaca 10 jam sehari dan menamatkan dua buku tiap pekan. Silahkan Anda deretkan nama-nama orang besar yang pernah muncul dalam sejarah dunia, maka sekali lagi Anda akan bertemu dengan para kutu buku.
Kemajuan sebuah bangsa pun sangat ditentukan kapasitas pengetahuan warga negaranya—sebagai salah satu faktor utama. Hampir semua negara maju adalah negara yang budaya bacanya bagus. Tentu saja budaya baca bukan segalanya dalam menentukan kemajuan akan tetapi ada faktor lain yang sama pentingnya misalnya faktor keadilan, geografi, dan demografi, juga sejarah. Sejarah imperailisme dan kolonialisme adalah sejarah invasi oleh bangsa yang memiliki pengetahuan dan teknologi yang kuat kepada bangsa yang lemah pengatahuannya. Itu terjadi dari masa imperaliasme primitif yang menyandarkan kepada kekuatan moncong senjata sampai kepada imperialisme modern atau soft collonialism dengan invasi budaya, ekonomi, dan politik terutama dengan kekuatan kapital atau modal yang notabene hasil dari akumulasi pengetahuan.
Timbul-tenggalamnya sebuah peadaban seiring dan seirama dengan timbul-tenggalamnya perhatian suatu bangsa terhadap ilmu pengetahuan. Yunani dahulu menjadi soko guru peradaban dunia dengan sederet filsuf yang namanya abadi sampai hari ini. Siapa yang tidak mengenal Sokrates, Arisoteles, dan Plato? Akan tetapi tragisnya, Yunani hari ini mendapat julukan negara gagal (failed state) karena tak mampu membayar utang. Tanah airnya para filsuf itu kini terkapar tak berdaya membayar utang. Jelas, bangsa Yunani tidak mengikuti atau durhaka terhadap moyangnya, karena Yunan tidak dikategorikan negara yang maju dalam budaya litrasinya. Bangs Yunanti tidak lagi mampu melahirkan keagungan Iliad karya Hommer atau Republik karya Plato. Setelah kematian fara filsuf itu maka mati pula kebesaran bangsanya.
Kejayaan perdabana akhirnya dipergulirkan ke Dunia Islam. Sejak abad ke-6 sampai 12 Islam menjadi pemimpin perdaban dunia. Dalam periode inilah lahir dasar-dasar ilmu modern yang sekarang dikembangkan di Barat seperti ilmu kedokteran oleh Ibnu Sina (Aviciena), Ibnu Rus (Averou), ilmu matematika oleh al-Jabbar, al-Biruni, dalam bidang sosial kita mengenal ahli sossiologi dan sejarah Ibnu Kholdun, bidang seni, astronomi, dan lain-lain. Dalam priode ini kita dapat memebaca dalam sejarah semua ilmu itu tergali berkat budaya literasi para ulamanya. Budaya Helenial yang rasional mereka adopsi dan adaptasi kedalam kultur berpikir Islam. Mereka menjadikan budaya literasi sebagai jalan jihad melalui tinta—yang lebih utama dari pada melalui pedang atau moncong senjata. Tinta ulama lebih berharga daripada darah para syuhada. Dan rata-rata mereka memperoleh kemulian keduanya.
Sejak abad ke-12 sampai abad 21 ini kembali peradaban dipimpn oleh Barat, karena mereka yang memiliki budaya baca yang bagus. Sejarah peradaban adalah catatan perjalanan budaya literasi manusia.
Mungkin pertanyaan umum yang sering dikemukakan adalah mengapa bangsa kita tidak suka membaca? Menjawab pertanyaan ini tidaklah sederhana, misalnya hanya karena tidak ada infrastruktur, akan tetapi menyangkut masalah ideologi, politik, ekonomi, social. Banyak juga yang menyalahkan sejarah—nenek moyang kita tidak berbudaya literasi tapi budaya lisan. Nenek moyang disalah sebagai legitimasi historis karena malas membaca. Sejatinya banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa nenek moyang kita juga berbudaya literasi. I La Galigo yang terdiri dari 5000 lembar lontar adalah mahakarya putra nusantara, sebagai bukti nyata bahwa nenek moyang kita juga memiliki budaya literasi yang tidak kalah dari negara lain. Belum lagi karya yang berupa serat, babad, prasasti, dan lain-lain jejeak literasi nenek moyang. Jadi, masalahnya bukan bangsa kita tidak memiliki budaya literasi akan tetapi terletak pada kontennya. Hampir semua peninggalan literasi itu berisi pesan tentang kekuasaan (politik), moralitas (etika dan etiket), dan kesenian. Jarang sekali ditemukan dokumentasi tentang karya ilmiah. Hal ini terjadi berkaitan dengan faktor alam yang subur makmur, tidak menuntut untuk berpikir ilmiah karena segal kebutuhan dasar manusia sudah tersedia. Berbeda dengan bangsa lain yang alamnya menuntut penduduk untuk berpikir dan bekerja keras untuk menaklukannya bila perlu keluar dari daerahnya untuk pindah dan menalkukkan atau mengkoloni daerah lain.
Selain itu juga setiap bangsa memiliki dua sisi budaya lisan (oralitiy) dan tulisan (literacy). Jangan menganggap rendah budaya lisan, karena masih-masih memiliki kekuatan dan kelemahannya. Bahkan Plato pernah berpendapat bahwa justru budaya literasi telah membunuh ingatan manusia. Hari ini kita merasakan, dengan kemajuan budaya litersi (media) sekarang orang tidak perlu lagi banyak menghafal atau memenuhi memomorinya dengan berbagai informasi. Informasi sudah tersimpan di luar memori manusia dalam bentuk hardisk atau internet bahkan cloud computing. Dampaknya adalah manusia sangat tergantung kepada media, memorinya sendiri kosong. Baik dudaya lisan mapun budaya tulisan diperlukan oleh manusia—tidak usah dikotomikan—yang penting adalah isi dari pembicaraan atau tulisan. Lebih baik mana, ngobrol tentang Iptek atau membaca tulisan tentang pornografi?
Buku sebagai kekuatan budaya. Memaknai buku sebagai jendela dunia. Buku bukan hanya sekadar kumpulan kata-kata yang dijilid, akan tetapi buku merupakan dunia yang dijilid. Masa lalu, hari ini, dan prediksi masa depan ada di dalamnya. Buku adalah memori semesta yanag merekam dialektika antara ruang dan waktu di sepanjang peradaban manusia. Kemusnahan buku adalah kemusnahan peradaban, tidak membaca buku adalah tanda berhentinya inovasi dan kretivitas sebagai esensi dari peradaban manusia. Bangsa yang menistakan atau tidak mengharagai buku akan dikutuk menjadi bangsa yang jumud, lemah, dan terbelakang, bahkan mungkin akan musnah dan dilupkan oleh sejarah.
Tentu saja membaca bukan hanya untuk membaca, akan tetapi informasi yang diperoleh harus bertansformasi menjai ilmu pengetahuan. Sesungguhnya kapasitas ilmu pengetahuan inilah yang akan menjadikan seseorng atau suatu bangsa lebih unggul daripada yang lain. Negara adidaya adalah negara yang menjunjung tinggi supremasi ilmu pengetetahuan. Dengan semboyan knowledge is power, sebagaimana disuarakan oleh Francis Bacon, maka lahirlah abad pencerahan (renaissance). Dan hari ini kita menyaksikan sendiri bahwa negara-negara maju itu adalah mereka yang menguasai ilmu pengeteahuan dan teknologi (Iptek). Sulit untuk dibantah bahwa budaya literasi Iptek adalah fondasi kemajuan baik dalam skala personal, bangsa, mauapun peradaban.
Data-informasi-pengetahuan begitu sekuental prosesnya. Pengetahaun adalah informasi yang sudah diolah menjadi barang yang berguna. Jadi, apabila baru membaca itu belum menjadi pengetahuan. Setingkat lebih tinggi dari pengetahuan dadalah keibijakan (wishdom). Identitas dan kapasitas sesorang ditentukan oleh jenis dan tingkatan informasi yang digelutinya. Bila ia berkutat dengan masalah-masalah teknis maka ia akan menjadi seorang teknisi, bila banya bekecimpung dalam pengelolaan ifnromasi maka ia akan menjadi menajer, dan bila pengetetahuan yang menjadi perhatiannya maka ia akan menjadi seorang pemimpin atau CEO, dan bila yang menjadi konsensnya adalah sudah meningka dalam bidang kebijakan (wishdom) atau filosofis maka dia akan menjadi seorang guru (master), yang banyak melahirkan ide, gagasan, atau inovasi.
Buku sebagai media informasi mengalami transformasi mengikuti kemajuan teknologi. Kini sumber informasi tidak hanya berbentuk kertas, akan tetapi beralih bentuk ke dalam elektronik atau digital.
Kini bukan hanya buku akan tetapi perpustakaan pun ada di dalam genggaman, bahkan perputakaan digital terbesar di diunia ada di dalam genggaman yaitu Google. Tentu saja kemajuan media memiliki kekurangan dan kelebihannya. Antara buku konvesional dan buku digital bukan saling mematikan akan tetapi saling komplementer. Untuk mencari dan memverifikasi sebuah informasi secepat kilat dapat dilakukan dengan bantuan internet akan tetapi untuk kedalam buku konvesional masih tak tergantikan.
Di anatara media infomasi yang semakin variatif, nampaknya madia mainstream terutama televisi masih memiliki pengaruh yang besar. Teori-teori klasik tentang media massa seperti jarum hypodermis, agenda setting, dan bullet theory—yang meangasumsikan begitu perkasanya media massa dalam mempengaruhi audiens—masih relevan. Maka masih pantas juga bila media massa dijuluki kekuatan keempat setelah legislatif,eksektufit, dan yudikatif (trias politika). Kini muncul kekuatan kelima berupa media sosial yang sangat sulit dikontrol oleh kekuatan negara. Media sosial yang popular seperti facebook, whatapp, dan twitter mampu untuk menggerakaan revolusi sosial seperti peristiwa Arab Spring berapa tahun yang lalu yang kemudian diikuti oleh negara lain. Saking besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa, Marshall McLuhan mengatakan bahwa medianya saja sudah merupakan pesan tersendiri—the medium is the message.
Sekarang ini literasi media sedang digalakan terkait dengan maraknya hoaks di masyarakat. Sebenarnya untuk menganalisis sebuah berita itu hoaks atau bukan bisa dibantu dengan formulasi komuikasi politik dari Harold D.Laswell: who, says what, in which channel, to whom, with what effect. Formulasi ini menggambarkan alur komunikasi yang setiap komponennya harus dianalisis atau diwaspadai: Who (analisis komunikator), says what (analisis pesan), in which channel (analisis media), to whom (analisis khalayak), with what effect (analisis efek). Menurut saya ini adalah formulasi penangkal hoaks yang paling relevan hingga saat ini. Apabila kita menerima sebuah berita atau pesan maka yang harus diperhatikan adalah siapa yang berbicara/mengirimnya, berbica apa, melalui saluran atau media apa, kepada siapa pesan itu dimaksudkan, dan pengaruh apa yang dia inginkan pada khalayak atau pendengarnya. Sebagai contoh “who”, komponen pertama. Who dalam bentuk personal sangat dipengaruhi oleh kredibilitas, integritas, dan kapasitas. Who dalam bentuk lembaga/organisasi sangat dipengaruhi oleh kepentingan (politik, ekonomi, ideologi) pemilik medianya. Begitu pun komponen yang lainnya. Intinya tidak ada pesan yang netral atau bebas nilai, kita harus pandai menghubungkan antara teks dengan konteks.
Indikator dari penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi adalah tulisan dan publikasi. Kapasitas seseorang bisa dilihat dari tulisannya sebagai representasi dari akumulasi kekuatan intelektual (frame of reference) dan pengalaman (field of experience). Ilmu pengetahuan tanpa ditulis atau publikasi akan mudah untuk dilupkan, oleh karenanya hanya ada dua pilihan: publish or perish, menulis atau dilupakan/musnah. Kata pepatah yang lain, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Bab ini juga akan memberikan pemahaman yang lebih luas tentang arti sebuah tulisan—seperti yang pernah diucapkan oleh Pramoedya Ananta Toer, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Akan tetapi tidak semua orang menulis dengan tujuan mulia untuk pewarian peradaban. Sekarang ini banyak yang menulis karena tuntutan jabatan. Karena indikator yang paling nyata dari kinerja seorang pejabatan fungsional adalah tulisan, apakah ia seorang profesor, peneliti, dosen, guru, pustakawan, dan ratusan jabatan fungsioanl lainnya yang telah dikategorisasi pemerintah. Menulis hanya untuk mendaptkan angka kredit supaya jabatan fungsionalnya tidak mati dan yang terpenting adalah tunjangannya tidak berhenti. Jadi, publish or perish yang sebener-benarnya ada di jabatan fungsional ini, karena kalau tidak pusblish atau menulis maka tunjangan akan perish yang akhirnya meringis atau nangis. Menulis bukan untuk supaya namanya abadi akan tetapi yang paling utama adalah tunjangan tidak mati. Maka tidak heran apabila kita sering mendengar istilah devaluasi profesor, impotensi inovasi, dan maraknya plagiasi.
Tuntutan angka kredit ini ditangkap sebagai peluang oleh penerbit yang hanya memikirkan untung tanpa memperhatikan kualitas, maka dibuatlah media publikasi berupa jurnal aba-abal atau jurnal predator. Jurnal aba-abal ini memuat tulisan-tulisan para pemburu angka kredit tanpa melihat kualitasnya, yang penting asal berani bayar. Indeks Scopus pun ternyata sangat mudah untuk direkayasa sehingga ada peneliti yang “berpresasi” tingkat nasional akan tetapi kemudian diberi sanksi karena ternyata memakai tipu-tipu ini. Itu semua terjadi karena budaya literasi yang lemah yang terjadi secara massif di seluruh bidang dan tingkatan sosial.
Sepuluh tahun yang lalu kata “literasi” belum akrab di telinga masyarakat Indonesia. Literasi sebuah kata serapan dari literacy—suatu aktivitas yang sudah lama kita lakukan—sekarang sedang menjadi topik yang menghangat terutama di dunia pendidikan. Sustainable Development Goals (SDGs) menjadikan literasi sebagai program utama dalam mengurangi kemiskinan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menjadikannya sebagai program prioritas dengan tagline “literasi untuk kesejahteraan rakyat.” Departemen pendidikan dan kebudayaan menjadikan Gerakan Literasi Sekolah mejnjadi program wajib dilaksanakan di semua satuan pendidikan.
Makna literasi dahulu hanya popular di dunia perpustakaan dan terbatas kepada literasi informasi yang berati kemampuan seseorang dalam mencari, mengelola, menggunakan, dan mengkomunikasikan kembalai informasi. Tapi sekarang sudah memasuki semua bidang sehigga literasi memiliki banyak makna, seperti pelangi atau taman yang penuh degan bunga warna-warni. Semuanya indah dan bermakna.
Ada yang memaknai literasi hanya padanan kata melek, berhubungan dengan sastra, budaya membaca, menulis, menghitung, dan lain-lain. Dari segi kedalamannya berjenjang mulai dari literasi dasar sampai pada literasi kritis. Ada juga yang memaknai dari diemensi lain, yaitu literasi bukan hanya sekadar membaca buku tapi bagaimana menerapkan atau mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Literasi adalah peristiwa dialektika yang selalu aktual antara teks dan konteks atau interaksi antara buku dengan ruang dan waktu.
“Bacalah!” Semua perubahan—individu, bangsa, dan peradaban—diawali dengan membaca. Dengan membaca maka pola pikir, emosi, perilaku dan akhirnya budaya berubah. Dari sejarah kita belajar bahwa orang-orang besar seluruhnya adalah kutu buku. Kita akan kesulitan mencari dalam tumpukan buku sejarah orang besar yang bukan kutu buku. Bahkan banyak orang besar yang warna kepribadiannya tercelup oleh buku yang dibacanya. Misalnya Ghandi dan Hitler. Yang satu seorang humanis yang satu lagi seorang fasis. Warna keribadian yang sangat berjauhan, bahkan seolah antitesis. Yang satu seorang pasifis (anti kekerasan) yang satu lagi seorang yang menggunakan kekerasan sebagai mesin kekuasaannya. Dalam biografinya Gandhi sangat dipengaruhi oleh sebuah buku yang berjudul Unto This Last karangan Ruskin, yang tidak sengaja diberikan oleh seorang teman untuk menemani dirinya dalam perjalanan. Ia menuturkan bahwa sekali ia mulai membacanya, buku tersebut langsung mencengkeram dirinya. Hitler dipengaruhi oleh buku-buku karya Charles Darwin terutama buku On the Origin of Species.
Masih dalam konteks pentingnya membaca, sejarah nusantara menceritakan bahwa Ken Arok bisa merebut tahta dari Tunggul Ametung—dengan kudeta—bukan hanya mengandalkan kekuatan militer akan tetapi juga karena dia adalah seorang literate yang berhasil menaikan statausnya dari sudra, kesatria, dan akhirnya menjadi seorang brahmana (cendekiawan) dengan cara otodidak membacai beribu-ribu naskah dalam lontar. Biografi yang terakhir saya baca adalah biografi Elon Musk seorang industrialis kaya raya yang dijuluki Leonardo da Vinci Abad 21, karena memiliki kebiasaan membaca 10 jam sehari dan menamatkan dua buku tiap pekan. Silahkan Anda deretkan nama-nama orang besar yang pernah muncul dalam sejarah dunia, maka sekali lagi Anda akan bertemu dengan para kutu buku.
Kemajuan sebuah bangsa pun sangat ditentukan kapasitas pengetahuan warga negaranya—sebagai salah satu faktor utama. Hampir semua negara maju adalah negara yang budaya bacanya bagus. Tentu saja budaya baca bukan segalanya dalam menentukan kemajuan akan tetapi ada faktor lain yang sama pentingnya misalnya faktor keadilan, geografi, dan demografi, juga sejarah. Sejarah imperailisme dan kolonialisme adalah sejarah invasi oleh bangsa yang memiliki pengetahuan dan teknologi yang kuat kepada bangsa yang lemah pengatahuannya. Itu terjadi dari masa imperaliasme primitif yang menyandarkan kepada kekuatan moncong senjata sampai kepada imperialisme modern atau soft collonialism dengan invasi budaya, ekonomi, dan politik terutama dengan kekuatan kapital atau modal yang notabene hasil dari akumulasi pengetahuan.
Timbul-tenggalamnya sebuah peadaban seiring dan seirama dengan timbul-tenggalamnya perhatian suatu bangsa terhadap ilmu pengetahuan. Yunani dahulu menjadi soko guru peradaban dunia dengan sederet filsuf yang namanya abadi sampai hari ini. Siapa yang tidak mengenal Sokrates, Arisoteles, dan Plato? Akan tetapi tragisnya, Yunani hari ini mendapat julukan negara gagal (failed state) karena tak mampu membayar utang. Tanah airnya para filsuf itu kini terkapar tak berdaya membayar utang. Jelas, bangsa Yunani tidak mengikuti atau durhaka terhadap moyangnya, karena Yunan tidak dikategorikan negara yang maju dalam budaya litrasinya. Bangs Yunanti tidak lagi mampu melahirkan keagungan Iliad karya Hommer atau Republik karya Plato. Setelah kematian fara filsuf itu maka mati pula kebesaran bangsanya.
Kejayaan perdabana akhirnya dipergulirkan ke Dunia Islam. Sejak abad ke-6 sampai 12 Islam menjadi pemimpin perdaban dunia. Dalam periode inilah lahir dasar-dasar ilmu modern yang sekarang dikembangkan di Barat seperti ilmu kedokteran oleh Ibnu Sina (Aviciena), Ibnu Rus (Averou), ilmu matematika oleh al-Jabbar, al-Biruni, dalam bidang sosial kita mengenal ahli sossiologi dan sejarah Ibnu Kholdun, bidang seni, astronomi, dan lain-lain. Dalam priode ini kita dapat memebaca dalam sejarah semua ilmu itu tergali berkat budaya literasi para ulamanya. Budaya Helenial yang rasional mereka adopsi dan adaptasi kedalam kultur berpikir Islam. Mereka menjadikan budaya literasi sebagai jalan jihad melalui tinta—yang lebih utama dari pada melalui pedang atau moncong senjata. Tinta ulama lebih berharga daripada darah para syuhada. Dan rata-rata mereka memperoleh kemulian keduanya.
Sejak abad ke-12 sampai abad 21 ini kembali peradaban dipimpn oleh Barat, karena mereka yang memiliki budaya baca yang bagus. Sejarah peradaban adalah catatan perjalanan budaya literasi manusia.
Mungkin pertanyaan umum yang sering dikemukakan adalah mengapa bangsa kita tidak suka membaca? Menjawab pertanyaan ini tidaklah sederhana, misalnya hanya karena tidak ada infrastruktur, akan tetapi menyangkut masalah ideologi, politik, ekonomi, social. Banyak juga yang menyalahkan sejarah—nenek moyang kita tidak berbudaya literasi tapi budaya lisan. Nenek moyang disalah sebagai legitimasi historis karena malas membaca. Sejatinya banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa nenek moyang kita juga berbudaya literasi. I La Galigo yang terdiri dari 5000 lembar lontar adalah mahakarya putra nusantara, sebagai bukti nyata bahwa nenek moyang kita juga memiliki budaya literasi yang tidak kalah dari negara lain. Belum lagi karya yang berupa serat, babad, prasasti, dan lain-lain jejeak literasi nenek moyang. Jadi, masalahnya bukan bangsa kita tidak memiliki budaya literasi akan tetapi terletak pada kontennya. Hampir semua peninggalan literasi itu berisi pesan tentang kekuasaan (politik), moralitas (etika dan etiket), dan kesenian. Jarang sekali ditemukan dokumentasi tentang karya ilmiah. Hal ini terjadi berkaitan dengan faktor alam yang subur makmur, tidak menuntut untuk berpikir ilmiah karena segal kebutuhan dasar manusia sudah tersedia. Berbeda dengan bangsa lain yang alamnya menuntut penduduk untuk berpikir dan bekerja keras untuk menaklukannya bila perlu keluar dari daerahnya untuk pindah dan menalkukkan atau mengkoloni daerah lain.
Selain itu juga setiap bangsa memiliki dua sisi budaya lisan (oralitiy) dan tulisan (literacy). Jangan menganggap rendah budaya lisan, karena masih-masih memiliki kekuatan dan kelemahannya. Bahkan Plato pernah berpendapat bahwa justru budaya literasi telah membunuh ingatan manusia. Hari ini kita merasakan, dengan kemajuan budaya litersi (media) sekarang orang tidak perlu lagi banyak menghafal atau memenuhi memomorinya dengan berbagai informasi. Informasi sudah tersimpan di luar memori manusia dalam bentuk hardisk atau internet bahkan cloud computing. Dampaknya adalah manusia sangat tergantung kepada media, memorinya sendiri kosong. Baik dudaya lisan mapun budaya tulisan diperlukan oleh manusia—tidak usah dikotomikan—yang penting adalah isi dari pembicaraan atau tulisan. Lebih baik mana, ngobrol tentang Iptek atau membaca tulisan tentang pornografi?
Buku sebagai kekuatan budaya. Memaknai buku sebagai jendela dunia. Buku bukan hanya sekadar kumpulan kata-kata yang dijilid, akan tetapi buku merupakan dunia yang dijilid. Masa lalu, hari ini, dan prediksi masa depan ada di dalamnya. Buku adalah memori semesta yanag merekam dialektika antara ruang dan waktu di sepanjang peradaban manusia. Kemusnahan buku adalah kemusnahan peradaban, tidak membaca buku adalah tanda berhentinya inovasi dan kretivitas sebagai esensi dari peradaban manusia. Bangsa yang menistakan atau tidak mengharagai buku akan dikutuk menjadi bangsa yang jumud, lemah, dan terbelakang, bahkan mungkin akan musnah dan dilupkan oleh sejarah.
Tentu saja membaca bukan hanya untuk membaca, akan tetapi informasi yang diperoleh harus bertansformasi menjai ilmu pengetahuan. Sesungguhnya kapasitas ilmu pengetahuan inilah yang akan menjadikan seseorng atau suatu bangsa lebih unggul daripada yang lain. Negara adidaya adalah negara yang menjunjung tinggi supremasi ilmu pengetetahuan. Dengan semboyan knowledge is power, sebagaimana disuarakan oleh Francis Bacon, maka lahirlah abad pencerahan (renaissance). Dan hari ini kita menyaksikan sendiri bahwa negara-negara maju itu adalah mereka yang menguasai ilmu pengeteahuan dan teknologi (Iptek). Sulit untuk dibantah bahwa budaya literasi Iptek adalah fondasi kemajuan baik dalam skala personal, bangsa, mauapun peradaban.
Data-informasi-pengetahuan begitu sekuental prosesnya. Pengetahaun adalah informasi yang sudah diolah menjadi barang yang berguna. Jadi, apabila baru membaca itu belum menjadi pengetahuan. Setingkat lebih tinggi dari pengetahuan dadalah keibijakan (wishdom). Identitas dan kapasitas sesorang ditentukan oleh jenis dan tingkatan informasi yang digelutinya. Bila ia berkutat dengan masalah-masalah teknis maka ia akan menjadi seorang teknisi, bila banya bekecimpung dalam pengelolaan ifnromasi maka ia akan menjadi menajer, dan bila pengetetahuan yang menjadi perhatiannya maka ia akan menjadi seorang pemimpin atau CEO, dan bila yang menjadi konsensnya adalah sudah meningka dalam bidang kebijakan (wishdom) atau filosofis maka dia akan menjadi seorang guru (master), yang banyak melahirkan ide, gagasan, atau inovasi.
Buku sebagai media informasi mengalami transformasi mengikuti kemajuan teknologi. Kini sumber informasi tidak hanya berbentuk kertas, akan tetapi beralih bentuk ke dalam elektronik atau digital.
Kini bukan hanya buku akan tetapi perpustakaan pun ada di dalam genggaman, bahkan perputakaan digital terbesar di diunia ada di dalam genggaman yaitu Google. Tentu saja kemajuan media memiliki kekurangan dan kelebihannya. Antara buku konvesional dan buku digital bukan saling mematikan akan tetapi saling komplementer. Untuk mencari dan memverifikasi sebuah informasi secepat kilat dapat dilakukan dengan bantuan internet akan tetapi untuk kedalam buku konvesional masih tak tergantikan.
Di anatara media infomasi yang semakin variatif, nampaknya madia mainstream terutama televisi masih memiliki pengaruh yang besar. Teori-teori klasik tentang media massa seperti jarum hypodermis, agenda setting, dan bullet theory—yang meangasumsikan begitu perkasanya media massa dalam mempengaruhi audiens—masih relevan. Maka masih pantas juga bila media massa dijuluki kekuatan keempat setelah legislatif,eksektufit, dan yudikatif (trias politika). Kini muncul kekuatan kelima berupa media sosial yang sangat sulit dikontrol oleh kekuatan negara. Media sosial yang popular seperti facebook, whatapp, dan twitter mampu untuk menggerakaan revolusi sosial seperti peristiwa Arab Spring berapa tahun yang lalu yang kemudian diikuti oleh negara lain. Saking besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa, Marshall McLuhan mengatakan bahwa medianya saja sudah merupakan pesan tersendiri—the medium is the message.
Sekarang ini literasi media sedang digalakan terkait dengan maraknya hoaks di masyarakat. Sebenarnya untuk menganalisis sebuah berita itu hoaks atau bukan bisa dibantu dengan formulasi komuikasi politik dari Harold D.Laswell: who, says what, in which channel, to whom, with what effect. Formulasi ini menggambarkan alur komunikasi yang setiap komponennya harus dianalisis atau diwaspadai: Who (analisis komunikator), says what (analisis pesan), in which channel (analisis media), to whom (analisis khalayak), with what effect (analisis efek). Menurut saya ini adalah formulasi penangkal hoaks yang paling relevan hingga saat ini. Apabila kita menerima sebuah berita atau pesan maka yang harus diperhatikan adalah siapa yang berbicara/mengirimnya, berbica apa, melalui saluran atau media apa, kepada siapa pesan itu dimaksudkan, dan pengaruh apa yang dia inginkan pada khalayak atau pendengarnya. Sebagai contoh “who”, komponen pertama. Who dalam bentuk personal sangat dipengaruhi oleh kredibilitas, integritas, dan kapasitas. Who dalam bentuk lembaga/organisasi sangat dipengaruhi oleh kepentingan (politik, ekonomi, ideologi) pemilik medianya. Begitu pun komponen yang lainnya. Intinya tidak ada pesan yang netral atau bebas nilai, kita harus pandai menghubungkan antara teks dengan konteks.
Indikator dari penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi adalah tulisan dan publikasi. Kapasitas seseorang bisa dilihat dari tulisannya sebagai representasi dari akumulasi kekuatan intelektual (frame of reference) dan pengalaman (field of experience). Ilmu pengetahuan tanpa ditulis atau publikasi akan mudah untuk dilupkan, oleh karenanya hanya ada dua pilihan: publish or perish, menulis atau dilupakan/musnah. Kata pepatah yang lain, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Bab ini juga akan memberikan pemahaman yang lebih luas tentang arti sebuah tulisan—seperti yang pernah diucapkan oleh Pramoedya Ananta Toer, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Akan tetapi tidak semua orang menulis dengan tujuan mulia untuk pewarian peradaban. Sekarang ini banyak yang menulis karena tuntutan jabatan. Karena indikator yang paling nyata dari kinerja seorang pejabatan fungsional adalah tulisan, apakah ia seorang profesor, peneliti, dosen, guru, pustakawan, dan ratusan jabatan fungsioanl lainnya yang telah dikategorisasi pemerintah. Menulis hanya untuk mendaptkan angka kredit supaya jabatan fungsionalnya tidak mati dan yang terpenting adalah tunjangannya tidak berhenti. Jadi, publish or perish yang sebener-benarnya ada di jabatan fungsional ini, karena kalau tidak pusblish atau menulis maka tunjangan akan perish yang akhirnya meringis atau nangis. Menulis bukan untuk supaya namanya abadi akan tetapi yang paling utama adalah tunjangan tidak mati. Maka tidak heran apabila kita sering mendengar istilah devaluasi profesor, impotensi inovasi, dan maraknya plagiasi.
Tuntutan angka kredit ini ditangkap sebagai peluang oleh penerbit yang hanya memikirkan untung tanpa memperhatikan kualitas, maka dibuatlah media publikasi berupa jurnal aba-abal atau jurnal predator. Jurnal aba-abal ini memuat tulisan-tulisan para pemburu angka kredit tanpa melihat kualitasnya, yang penting asal berani bayar. Indeks Scopus pun ternyata sangat mudah untuk direkayasa sehingga ada peneliti yang “berpresasi” tingkat nasional akan tetapi kemudian diberi sanksi karena ternyata memakai tipu-tipu ini. Itu semua terjadi karena budaya literasi yang lemah yang terjadi secara massif di seluruh bidang dan tingkatan sosial.
Sepuluh tahun yang lalu kata “literasi” belum akrab di telinga masyarakat Indonesia. Literasi sebuah kata serapan dari literacy—suatu aktivitas yang sudah lama kita lakukan—sekarang sedang menjadi topik yang menghangat terutama di dunia pendidikan. Sustainable Development Goals (SDGs) menjadikan literasi sebagai program utama dalam mengurangi kemiskinan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menjadikannya sebagai program prioritas dengan tagline “literasi untuk kesejahteraan rakyat.” Departemen pendidikan dan kebudayaan menjadikan Gerakan Literasi Sekolah mejnjadi program wajib dilaksanakan di semua satuan pendidikan.
Makna literasi dahulu hanya popular di dunia perpustakaan dan terbatas kepada literasi informasi yang berati kemampuan seseorang dalam mencari, mengelola, menggunakan, dan mengkomunikasikan kembalai informasi. Tapi sekarang sudah memasuki semua bidang sehigga literasi memiliki banyak makna, seperti pelangi atau taman yang penuh degan bunga warna-warni. Semuanya indah dan bermakna.
Ada yang memaknai literasi hanya padanan kata melek, berhubungan dengan sastra, budaya membaca, menulis, menghitung, dan lain-lain. Dari segi kedalamannya berjenjang mulai dari literasi dasar sampai pada literasi kritis. Ada juga yang memaknai dari diemensi lain, yaitu literasi bukan hanya sekadar membaca buku tapi bagaimana menerapkan atau mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Literasi adalah peristiwa dialektika yang selalu aktual antara teks dan konteks atau interaksi antara buku dengan ruang dan waktu.
“Bacalah!” Semua perubahan—individu, bangsa, dan peradaban—diawali dengan membaca. Dengan membaca maka pola pikir, emosi, perilaku dan akhirnya budaya berubah. Dari sejarah kita belajar bahwa orang-orang besar seluruhnya adalah kutu buku. Kita akan kesulitan mencari dalam tumpukan buku sejarah orang besar yang bukan kutu buku. Bahkan banyak orang besar yang warna kepribadiannya tercelup oleh buku yang dibacanya. Misalnya Ghandi dan Hitler. Yang satu seorang humanis yang satu lagi seorang fasis. Warna keribadian yang sangat berjauhan, bahkan seolah antitesis. Yang satu seorang pasifis (anti kekerasan) yang satu lagi seorang yang menggunakan kekerasan sebagai mesin kekuasaannya. Dalam biografinya Gandhi sangat dipengaruhi oleh sebuah buku yang berjudul Unto This Last karangan Ruskin, yang tidak sengaja diberikan oleh seorang teman untuk menemani dirinya dalam perjalanan. Ia menuturkan bahwa sekali ia mulai membacanya, buku tersebut langsung mencengkeram dirinya. Hitler dipengaruhi oleh buku-buku karya Charles Darwin terutama buku On the Origin of Species.
Masih dalam konteks pentingnya membaca, sejarah nusantara menceritakan bahwa Ken Arok bisa merebut tahta dari Tunggul Ametung—dengan kudeta—bukan hanya mengandalkan kekuatan militer akan tetapi juga karena dia adalah seorang literate yang berhasil menaikan statausnya dari sudra, kesatria, dan akhirnya menjadi seorang brahmana (cendekiawan) dengan cara otodidak membacai beribu-ribu naskah dalam lontar. Biografi yang terakhir saya baca adalah biografi Elon Musk seorang industrialis kaya raya yang dijuluki Leonardo da Vinci Abad 21, karena memiliki kebiasaan membaca 10 jam sehari dan menamatkan dua buku tiap pekan. Silahkan Anda deretkan nama-nama orang besar yang pernah muncul dalam sejarah dunia, maka sekali lagi Anda akan bertemu dengan para kutu buku.
Kemajuan sebuah bangsa pun sangat ditentukan kapasitas pengetahuan warga negaranya—sebagai salah satu faktor utama. Hampir semua negara maju adalah negara yang budaya bacanya bagus. Tentu saja budaya baca bukan segalanya dalam menentukan kemajuan akan tetapi ada faktor lain yang sama pentingnya misalnya faktor keadilan, geografi, dan demografi, juga sejarah. Sejarah imperailisme dan kolonialisme adalah sejarah invasi oleh bangsa yang memiliki pengetahuan dan teknologi yang kuat kepada bangsa yang lemah pengatahuannya. Itu terjadi dari masa imperaliasme primitif yang menyandarkan kepada kekuatan moncong senjata sampai kepada imperialisme modern atau soft collonialism dengan invasi budaya, ekonomi, dan politik terutama dengan kekuatan kapital atau modal yang notabene hasil dari akumulasi pengetahuan.
Timbul-tenggalamnya sebuah peadaban seiring dan seirama dengan timbul-tenggalamnya perhatian suatu bangsa terhadap ilmu pengetahuan. Yunani dahulu menjadi soko guru peradaban dunia dengan sederet filsuf yang namanya abadi sampai hari ini. Siapa yang tidak mengenal Sokrates, Arisoteles, dan Plato? Akan tetapi tragisnya, Yunani hari ini mendapat julukan negara gagal (failed state) karena tak mampu membayar utang. Tanah airnya para filsuf itu kini terkapar tak berdaya membayar utang. Jelas, bangsa Yunani tidak mengikuti atau durhaka terhadap moyangnya, karena Yunan tidak dikategorikan negara yang maju dalam budaya litrasinya. Bangs Yunanti tidak lagi mampu melahirkan keagungan Iliad karya Hommer atau Republik karya Plato. Setelah kematian fara filsuf itu maka mati pula kebesaran bangsanya.
Kejayaan perdabana akhirnya dipergulirkan ke Dunia Islam. Sejak abad ke-6 sampai 12 Islam menjadi pemimpin perdaban dunia. Dalam periode inilah lahir dasar-dasar ilmu modern yang sekarang dikembangkan di Barat seperti ilmu kedokteran oleh Ibnu Sina (Aviciena), Ibnu Rus (Averou), ilmu matematika oleh al-Jabbar, al-Biruni, dalam bidang sosial kita mengenal ahli sossiologi dan sejarah Ibnu Kholdun, bidang seni, astronomi, dan lain-lain. Dalam priode ini kita dapat memebaca dalam sejarah semua ilmu itu tergali berkat budaya literasi para ulamanya. Budaya Helenial yang rasional mereka adopsi dan adaptasi kedalam kultur berpikir Islam. Mereka menjadikan budaya literasi sebagai jalan jihad melalui tinta—yang lebih utama dari pada melalui pedang atau moncong senjata. Tinta ulama lebih berharga daripada darah para syuhada. Dan rata-rata mereka memperoleh kemulian keduanya.
Sejak abad ke-12 sampai abad 21 ini kembali peradaban dipimpn oleh Barat, karena mereka yang memiliki budaya baca yang bagus. Sejarah peradaban adalah catatan perjalanan budaya literasi manusia.
Mungkin pertanyaan umum yang sering dikemukakan adalah mengapa bangsa kita tidak suka membaca? Menjawab pertanyaan ini tidaklah sederhana, misalnya hanya karena tidak ada infrastruktur, akan tetapi menyangkut masalah ideologi, politik, ekonomi, social. Banyak juga yang menyalahkan sejarah—nenek moyang kita tidak berbudaya literasi tapi budaya lisan. Nenek moyang disalah sebagai legitimasi historis karena malas membaca. Sejatinya banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa nenek moyang kita juga berbudaya literasi. I La Galigo yang terdiri dari 5000 lembar lontar adalah mahakarya putra nusantara, sebagai bukti nyata bahwa nenek moyang kita juga memiliki budaya literasi yang tidak kalah dari negara lain. Belum lagi karya yang berupa serat, babad, prasasti, dan lain-lain jejeak literasi nenek moyang. Jadi, masalahnya bukan bangsa kita tidak memiliki budaya literasi akan tetapi terletak pada kontennya. Hampir semua peninggalan literasi itu berisi pesan tentang kekuasaan (politik), moralitas (etika dan etiket), dan kesenian. Jarang sekali ditemukan dokumentasi tentang karya ilmiah. Hal ini terjadi berkaitan dengan faktor alam yang subur makmur, tidak menuntut untuk berpikir ilmiah karena segal kebutuhan dasar manusia sudah tersedia. Berbeda dengan bangsa lain yang alamnya menuntut penduduk untuk berpikir dan bekerja keras untuk menaklukannya bila perlu keluar dari daerahnya untuk pindah dan menalkukkan atau mengkoloni daerah lain.
Selain itu juga setiap bangsa memiliki dua sisi budaya lisan (oralitiy) dan tulisan (literacy). Jangan menganggap rendah budaya lisan, karena masih-masih memiliki kekuatan dan kelemahannya. Bahkan Plato pernah berpendapat bahwa justru budaya literasi telah membunuh ingatan manusia. Hari ini kita merasakan, dengan kemajuan budaya litersi (media) sekarang orang tidak perlu lagi banyak menghafal atau memenuhi memomorinya dengan berbagai informasi. Informasi sudah tersimpan di luar memori manusia dalam bentuk hardisk atau internet bahkan cloud computing. Dampaknya adalah manusia sangat tergantung kepada media, memorinya sendiri kosong. Baik dudaya lisan mapun budaya tulisan diperlukan oleh manusia—tidak usah dikotomikan—yang penting adalah isi dari pembicaraan atau tulisan. Lebih baik mana, ngobrol tentang Iptek atau membaca tulisan tentang pornografi?
Buku sebagai kekuatan budaya. Memaknai buku sebagai jendela dunia. Buku bukan hanya sekadar kumpulan kata-kata yang dijilid, akan tetapi buku merupakan dunia yang dijilid. Masa lalu, hari ini, dan prediksi masa depan ada di dalamnya. Buku adalah memori semesta yanag merekam dialektika antara ruang dan waktu di sepanjang peradaban manusia. Kemusnahan buku adalah kemusnahan peradaban, tidak membaca buku adalah tanda berhentinya inovasi dan kretivitas sebagai esensi dari peradaban manusia. Bangsa yang menistakan atau tidak mengharagai buku akan dikutuk menjadi bangsa yang jumud, lemah, dan terbelakang, bahkan mungkin akan musnah dan dilupkan oleh sejarah.
Tentu saja membaca bukan hanya untuk membaca, akan tetapi informasi yang diperoleh harus bertansformasi menjai ilmu pengetahuan. Sesungguhnya kapasitas ilmu pengetahuan inilah yang akan menjadikan seseorng atau suatu bangsa lebih unggul daripada yang lain. Negara adidaya adalah negara yang menjunjung tinggi supremasi ilmu pengetetahuan. Dengan semboyan knowledge is power, sebagaimana disuarakan oleh Francis Bacon, maka lahirlah abad pencerahan (renaissance). Dan hari ini kita menyaksikan sendiri bahwa negara-negara maju itu adalah mereka yang menguasai ilmu pengeteahuan dan teknologi (Iptek). Sulit untuk dibantah bahwa budaya literasi Iptek adalah fondasi kemajuan baik dalam skala personal, bangsa, mauapun peradaban.
Data-informasi-pengetahuan begitu sekuental prosesnya. Pengetahaun adalah informasi yang sudah diolah menjadi barang yang berguna. Jadi, apabila baru membaca itu belum menjadi pengetahuan. Setingkat lebih tinggi dari pengetahuan dadalah keibijakan (wishdom). Identitas dan kapasitas sesorang ditentukan oleh jenis dan tingkatan informasi yang digelutinya. Bila ia berkutat dengan masalah-masalah teknis maka ia akan menjadi seorang teknisi, bila banya bekecimpung dalam pengelolaan ifnromasi maka ia akan menjadi menajer, dan bila pengetetahuan yang menjadi perhatiannya maka ia akan menjadi seorang pemimpin atau CEO, dan bila yang menjadi konsensnya adalah sudah meningka dalam bidang kebijakan (wishdom) atau filosofis maka dia akan menjadi seorang guru (master), yang banyak melahirkan ide, gagasan, atau inovasi.
Buku sebagai media informasi mengalami transformasi mengikuti kemajuan teknologi. Kini sumber informasi tidak hanya berbentuk kertas, akan tetapi beralih bentuk ke dalam elektronik atau digital.
Kini bukan hanya buku akan tetapi perpustakaan pun ada di dalam genggaman, bahkan perputakaan digital terbesar di diunia ada di dalam genggaman yaitu Google. Tentu saja kemajuan media memiliki kekurangan dan kelebihannya. Antara buku konvesional dan buku digital bukan saling mematikan akan tetapi saling komplementer. Untuk mencari dan memverifikasi sebuah informasi secepat kilat dapat dilakukan dengan bantuan internet akan tetapi untuk kedalam buku konvesional masih tak tergantikan.
Di anatara media infomasi yang semakin variatif, nampaknya madia mainstream terutama televisi masih memiliki pengaruh yang besar. Teori-teori klasik tentang media massa seperti jarum hypodermis, agenda setting, dan bullet theory—yang meangasumsikan begitu perkasanya media massa dalam mempengaruhi audiens—masih relevan. Maka masih pantas juga bila media massa dijuluki kekuatan keempat setelah legislatif,eksektufit, dan yudikatif (trias politika). Kini muncul kekuatan kelima berupa media sosial yang sangat sulit dikontrol oleh kekuatan negara. Media sosial yang popular seperti facebook, whatapp, dan twitter mampu untuk menggerakaan revolusi sosial seperti peristiwa Arab Spring berapa tahun yang lalu yang kemudian diikuti oleh negara lain. Saking besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa, Marshall McLuhan mengatakan bahwa medianya saja sudah merupakan pesan tersendiri—the medium is the message.
Sekarang ini literasi media sedang digalakan terkait dengan maraknya hoaks di masyarakat. Sebenarnya untuk menganalisis sebuah berita itu hoaks atau bukan bisa dibantu dengan formulasi komuikasi politik dari Harold D.Laswell: who, says what, in which channel, to whom, with what effect. Formulasi ini menggambarkan alur komunikasi yang setiap komponennya harus dianalisis atau diwaspadai: Who (analisis komunikator), says what (analisis pesan), in which channel (analisis media), to whom (analisis khalayak), with what effect (analisis efek). Menurut saya ini adalah formulasi penangkal hoaks yang paling relevan hingga saat ini. Apabila kita menerima sebuah berita atau pesan maka yang harus diperhatikan adalah siapa yang berbicara/mengirimnya, berbica apa, melalui saluran atau media apa, kepada siapa pesan itu dimaksudkan, dan pengaruh apa yang dia inginkan pada khalayak atau pendengarnya. Sebagai contoh “who”, komponen pertama. Who dalam bentuk personal sangat dipengaruhi oleh kredibilitas, integritas, dan kapasitas. Who dalam bentuk lembaga/organisasi sangat dipengaruhi oleh kepentingan (politik, ekonomi, ideologi) pemilik medianya. Begitu pun komponen yang lainnya. Intinya tidak ada pesan yang netral atau bebas nilai, kita harus pandai menghubungkan antara teks dengan konteks.
Indikator dari penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi adalah tulisan dan publikasi. Kapasitas seseorang bisa dilihat dari tulisannya sebagai representasi dari akumulasi kekuatan intelektual (frame of reference) dan pengalaman (field of experience). Ilmu pengetahuan tanpa ditulis atau publikasi akan mudah untuk dilupkan, oleh karenanya hanya ada dua pilihan: publish or perish, menulis atau dilupakan/musnah. Kata pepatah yang lain, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Bab ini juga akan memberikan pemahaman yang lebih luas tentang arti sebuah tulisan—seperti yang pernah diucapkan oleh Pramoedya Ananta Toer, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Akan tetapi tidak semua orang menulis dengan tujuan mulia untuk pewarian peradaban. Sekarang ini banyak yang menulis karena tuntutan jabatan. Karena indikator yang paling nyata dari kinerja seorang pejabatan fungsional adalah tulisan, apakah ia seorang profesor, peneliti, dosen, guru, pustakawan, dan ratusan jabatan fungsioanl lainnya yang telah dikategorisasi pemerintah. Menulis hanya untuk mendaptkan angka kredit supaya jabatan fungsionalnya tidak mati dan yang terpenting adalah tunjangannya tidak berhenti. Jadi, publish or perish yang sebener-benarnya ada di jabatan fungsional ini, karena kalau tidak pusblish atau menulis maka tunjangan akan perish yang akhirnya meringis atau nangis. Menulis bukan untuk supaya namanya abadi akan tetapi yang paling utama adalah tunjangan tidak mati. Maka tidak heran apabila kita sering mendengar istilah devaluasi profesor, impotensi inovasi, dan maraknya plagiasi.
Tuntutan angka kredit ini ditangkap sebagai peluang oleh penerbit yang hanya memikirkan untung tanpa memperhatikan kualitas, maka dibuatlah media publikasi berupa jurnal aba-abal atau jurnal predator. Jurnal aba-abal ini memuat tulisan-tulisan para pemburu angka kredit tanpa melihat kualitasnya, yang penting asal berani bayar. Indeks Scopus pun ternyata sangat mudah untuk direkayasa sehingga ada peneliti yang “berpresasi” tingkat nasional akan tetapi kemudian diberi sanksi karena ternyata memakai tipu-tipu ini. Itu semua terjadi karena budaya literasi yang lemah yang terjadi secara massif di seluruh bidang dan tingkatan sosial.
Sepuluh tahun yang lalu kata “literasi” belum akrab di telinga masyarakat Indonesia. Literasi sebuah kata serapan dari literacy—suatu aktivitas yang sudah lama kita lakukan—sekarang sedang menjadi topik yang menghangat terutama di dunia pendidikan. Sustainable Development Goals (SDGs) menjadikan literasi sebagai program utama dalam mengurangi kemiskinan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menjadikannya sebagai program prioritas dengan tagline “literasi untuk kesejahteraan rakyat.” Departemen pendidikan dan kebudayaan menjadikan Gerakan Literasi Sekolah mejnjadi program wajib dilaksanakan di semua satuan pendidikan.
Makna literasi dahulu hanya popular di dunia perpustakaan dan terbatas kepada literasi informasi yang berati kemampuan seseorang dalam mencari, mengelola, menggunakan, dan mengkomunikasikan kembalai informasi. Tapi sekarang sudah memasuki semua bidang sehigga literasi memiliki banyak makna, seperti pelangi atau taman yang penuh degan bunga warna-warni. Semuanya indah dan bermakna.
Ada yang memaknai literasi hanya padanan kata melek, berhubungan dengan sastra, budaya membaca, menulis, menghitung, dan lain-lain. Dari segi kedalamannya berjenjang mulai dari literasi dasar sampai pada literasi kritis. Ada juga yang memaknai dari diemensi lain, yaitu literasi bukan hanya sekadar membaca buku tapi bagaimana menerapkan atau mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Literasi adalah peristiwa dialektika yang selalu aktual antara teks dan konteks atau interaksi antara buku dengan ruang dan waktu.
“Bacalah!” Semua perubahan—individu, bangsa, dan peradaban—diawali dengan membaca. Dengan membaca maka pola pikir, emosi, perilaku dan akhirnya budaya berubah. Dari sejarah kita belajar bahwa orang-orang besar seluruhnya adalah kutu buku. Kita akan kesulitan mencari dalam tumpukan buku sejarah orang besar yang bukan kutu buku. Bahkan banyak orang besar yang warna kepribadiannya tercelup oleh buku yang dibacanya. Misalnya Ghandi dan Hitler. Yang satu seorang humanis yang satu lagi seorang fasis. Warna keribadian yang sangat berjauhan, bahkan seolah antitesis. Yang satu seorang pasifis (anti kekerasan) yang satu lagi seorang yang menggunakan kekerasan sebagai mesin kekuasaannya. Dalam biografinya Gandhi sangat dipengaruhi oleh sebuah buku yang berjudul Unto This Last karangan Ruskin, yang tidak sengaja diberikan oleh seorang teman untuk menemani dirinya dalam perjalanan. Ia menuturkan bahwa sekali ia mulai membacanya, buku tersebut langsung mencengkeram dirinya. Hitler dipengaruhi oleh buku-buku karya Charles Darwin terutama buku On the Origin of Species.
Masih dalam konteks pentingnya membaca, sejarah nusantara menceritakan bahwa Ken Arok bisa merebut tahta dari Tunggul Ametung—dengan kudeta—bukan hanya mengandalkan kekuatan militer akan tetapi juga karena dia adalah seorang literate yang berhasil menaikan statausnya dari sudra, kesatria, dan akhirnya menjadi seorang brahmana (cendekiawan) dengan cara otodidak membacai beribu-ribu naskah dalam lontar. Biografi yang terakhir saya baca adalah biografi Elon Musk seorang industrialis kaya raya yang dijuluki Leonardo da Vinci Abad 21, karena memiliki kebiasaan membaca 10 jam sehari dan menamatkan dua buku tiap pekan. Silahkan Anda deretkan nama-nama orang besar yang pernah muncul dalam sejarah dunia, maka sekali lagi Anda akan bertemu dengan para kutu buku.
Kemajuan sebuah bangsa pun sangat ditentukan kapasitas pengetahuan warga negaranya—sebagai salah satu faktor utama. Hampir semua negara maju adalah negara yang budaya bacanya bagus. Tentu saja budaya baca bukan segalanya dalam menentukan kemajuan akan tetapi ada faktor lain yang sama pentingnya misalnya faktor keadilan, geografi, dan demografi, juga sejarah. Sejarah imperailisme dan kolonialisme adalah sejarah invasi oleh bangsa yang memiliki pengetahuan dan teknologi yang kuat kepada bangsa yang lemah pengatahuannya. Itu terjadi dari masa imperaliasme primitif yang menyandarkan kepada kekuatan moncong senjata sampai kepada imperialisme modern atau soft collonialism dengan invasi budaya, ekonomi, dan politik terutama dengan kekuatan kapital atau modal yang notabene hasil dari akumulasi pengetahuan.
Timbul-tenggalamnya sebuah peadaban seiring dan seirama dengan timbul-tenggalamnya perhatian suatu bangsa terhadap ilmu pengetahuan. Yunani dahulu menjadi soko guru peradaban dunia dengan sederet filsuf yang namanya abadi sampai hari ini. Siapa yang tidak mengenal Sokrates, Arisoteles, dan Plato? Akan tetapi tragisnya, Yunani hari ini mendapat julukan negara gagal (failed state) karena tak mampu membayar utang. Tanah airnya para filsuf itu kini terkapar tak berdaya membayar utang. Jelas, bangsa Yunani tidak mengikuti atau durhaka terhadap moyangnya, karena Yunan tidak dikategorikan negara yang maju dalam budaya litrasinya. Bangs Yunanti tidak lagi mampu melahirkan keagungan Iliad karya Hommer atau Republik karya Plato. Setelah kematian fara filsuf itu maka mati pula kebesaran bangsanya.
Kejayaan perdabana akhirnya dipergulirkan ke Dunia Islam. Sejak abad ke-6 sampai 12 Islam menjadi pemimpin perdaban dunia. Dalam periode inilah lahir dasar-dasar ilmu modern yang sekarang dikembangkan di Barat seperti ilmu kedokteran oleh Ibnu Sina (Aviciena), Ibnu Rus (Averou), ilmu matematika oleh al-Jabbar, al-Biruni, dalam bidang sosial kita mengenal ahli sossiologi dan sejarah Ibnu Kholdun, bidang seni, astronomi, dan lain-lain. Dalam priode ini kita dapat memebaca dalam sejarah semua ilmu itu tergali berkat budaya literasi para ulamanya. Budaya Helenial yang rasional mereka adopsi dan adaptasi kedalam kultur berpikir Islam. Mereka menjadikan budaya literasi sebagai jalan jihad melalui tinta—yang lebih utama dari pada melalui pedang atau moncong senjata. Tinta ulama lebih berharga daripada darah para syuhada. Dan rata-rata mereka memperoleh kemulian keduanya.
Sejak abad ke-12 sampai abad 21 ini kembali peradaban dipimpn oleh Barat, karena mereka yang memiliki budaya baca yang bagus. Sejarah peradaban adalah catatan perjalanan budaya literasi manusia.
Mungkin pertanyaan umum yang sering dikemukakan adalah mengapa bangsa kita tidak suka membaca? Menjawab pertanyaan ini tidaklah sederhana, misalnya hanya karena tidak ada infrastruktur, akan tetapi menyangkut masalah ideologi, politik, ekonomi, social. Banyak juga yang menyalahkan sejarah—nenek moyang kita tidak berbudaya literasi tapi budaya lisan. Nenek moyang disalah sebagai legitimasi historis karena malas membaca. Sejatinya banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa nenek moyang kita juga berbudaya literasi. I